Salam Sejahtera,
Dalam posting kali ini saya akan membahas kaitan antara dokumen lingkungan dan perijinan usaha.
Pengalaman saya sebagai konsultan lingkungan dan pengalaman perijinan yang saya miliki.
Ada beberapa keterkaitan antara perijinan usaha dan kajian lingkungan yaitu Amdal, UKL/UPL maupun SPPL dengan perijinan usaha.
Beberapa kasus usaha toko waralaba yang sedang berkembang sering terjadi penghentian usaha (disegel) oleh Pemerintah setempat karena melalaikan izin yang seharusnya wajib dimiliki oleh perusahaan.
Apa penyebab disegelnya usaha yang sudah berjalan pada kasus tersebut?
- Disegel dan dihentikannya tempat usaha yang sudah berjalan oleh pemerintah terkait banyak dipengaruhi oleh tidak jelinya para pengusaha memperhatikan perijinan yang dimiliki oleh perusahaannya. Kasus terbanyak adalah pembangunan toko atau tempat usaha tanpa IMB, yang merupakan kesalahan mendasar untuk suatu perusahaan yang sudah berkembang karena kurangnya pengetahuan staff legal mereka akan seluk beluk perijinan.
Apa penyebab IMB tidak bisa keluar atau tidak diterbitkan?
-
AMDAL,dan UKL/ UPL
Cari Blog Ini
Kamis, 12 Maret 2020
Senin, 18 Juni 2012
AMDAL: Hilangnya Hak Lingkungan Hidup
Analisis mengenai dampak lingkungan hidup adalah kajian mengenai dampak besar dan penting suatu usaha dan/atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan.
Dalam sebuah lokakarya regional koordinasi tata lingkungan wilayah Kalimantan, Ir Hermien Roosita MM, Asisten Deputi Urusan Pengkajian Dampak Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup menyatakan bahwa hanya 119 kabupaten/kota yang memiliki komisi penilai AMDAL dari 474 kabupaten/kota di Indonesia. Dari angka tersebut, hanya 50% yang berfungsi menilai AMDAL. Sementara 75% dokumen AMDAL yang dihasilkan berkualitas buruk sampai sangat buruk.
Lebih lanjut disampaikannya bahwa selama ini AMDAL memerlukan waktu proses yang lama, itdak ada penegakan hukum terhadap pelanggar AMDAL, kontribusi pengelolaan lingkungan yang masih rendah, menjadi beban biaya, dan dipandang sebagai komodias ekonomi oleh (oknum) aparatur pemerintah, pemrakarsa atau konsultan. Lebih rusaknya, ketika AMDAL justru hanya sebagai alat retribusi, bukan sebagai bagian dari sebuah studi kelayakan, sehingga sering kali ditemui banyak AMDAL yang justru melanggar tata ruang.
Ruh AMDAL ketika pertama kali dikeluarkan kebijakan mengenainya, adalah merupakan bagian kegiatan studi kelayakan rencana usaha dan/atau kegiatan. Hasil analisis mengenai dampak lingkungan hidup digunakan sebagai bahan perencanaan pembangunan wilayah. Namun dikarenakan minimnya pengetahuan dari pemerintah dan rakyat dalam memahami AMDAL, menjadikan pemrakarsa dan konsultan menggunakan AMDAL sebagai sebuah dokumen asal jadi, dan kecenderungan mengutip dokumen AMDAL lainnya sangat tinggi. Sehingga AMDAL tidak dapat menjadi sebuah acuan kelayakan sebuah kegiatan berjalan.
Dalam sebuah rencana proyek jalan LADIA-GALASKA di Nanggroe Aceh Darussalam, sangat terlihat jelas bahwa proyek jalan dilaksanakan jauh sebelum dokumen AMDAL disetujui oleh Komisi Penilai AMDAL. Hal serupa ditemui dalam proyek jalan yang melalui Pulau Balang di Teluk Balikpapan, dimana saat ini proyek telah dilaksanakan, sementara AMDAL belum selesai direvisi.
Pasal 15 (1) UU No. 23/1997 menyatakan bahwa setiap rencana usaha dan/atau kegiatan yang kemungkinan dapat menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup, wajib memiliki analisis mengenai dampak lingkungan hidup. Hal ini kemudian ditegaskan dalam pasal 3 PP No. 27/1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) yang menyebutkan bahwa usaha dan/atau kegiatan yang kemungkinan dapat menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup meliputi:
1. Pengubahan bentuk lahan dan bentang alam.
2. Eksploitasi sumberdaya alam baik yang terbaharui maupun yang tidak terbaharui.
3. Proses dan kajian yang secara potensial dapat menimbulkan pemborosan, pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup, serta kemerosotan sumberdaya alam dalam pemanfaatannya.
4. Proses dan kegiatan yang hasilnya dapat mempengaruhi lingkungan alam, lingkungan buatan, serta lingkungan sumberdaya.
5. Proses dan kegiatan yang hasilnya akan mempengaruhi pelestarian kawasan konservasi sumberdaya alam dan/atau perlindungan cagar budaya.
6. Introduksi jenis tumbuh-tumbuhan, jenis hewan dan jasad renik.
7. Pembuatan dan penggunaan bahan hayati dan non-hayati.
8. Penerapan teknologi yang diperkirakan mempunyai potensi besar untuk mempengaruhi lingkungan hidup.
9. Kegiatan yang mempunyai resiko tinggi dan dapat mempengaruhi pertahanan negara.
Dalam proses penyusunan dokumen AMDAL, sangat sering ditemui konsultan (tim penyusun) AMDAL meninggalkan berbagai prinsip dalam AMDAL. Terutama posisi rakyat dalam proses penyusunan dokumen AMDAL. Proses keterbukaan informasi dijamin oleh kebijakan, di mana pasal 33 PP No. 27/1999 menegaskan kewajiban pemrakarsa untuk mengumunkan kepada publik dan saran, pendapat, masukan publik wajib untuk dikaji dan dipertimbangkan dalam AMDAL. Dan pasal 34 menegaskan bagi kelompok rakyat yang berkepentingan wajib dilibatkan dalam proses penyusunan kerangka acuan, penilaian kerangka acuan, analisis dampak lingkungan hidup, rencana pengelolaan lingkungan hidup dan rencana pemantauan lingkungan hidup.
Maksud dan tujuan dilaksanakannya ketertibatan masyarakat dalam keterbukaan informasi dalam proses Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (AMDAL) ini adalah untuk :
1) Melindungi kepentingan masyarakat;
2) Memberdayakan masyarakat dalam pengambilan keputusan atas rencana usaha dan/atau kegiatan pembangunan yang berpotensi menimbulkan dampak besar dan penting terhadap Lingkungan;
3) Memastikan adanya transparansi dalam keseluruhan proses AMDAl dari rencana usaha dan/atau kegiatan; dan
4) Menciptakan suasana kemitraan yang setara antara semua pihak yang berkepentingan, yaitu dengan menghormati hak-hak semua pihak untuk mendapatkan informasi dan mewajibkan semua pihak untuk menyampaikan informasi yang harus diketahui pihak lain yang terpengaruh.
Di mana prinsip dasar pelaksanaannya menganuti: 1) Kesetaraan posisi di antara pihak-pihak yang terlibat; 2) Transparansi dalam pengambilan keputusan; 3) Penyelesaian masalah yang bersifat adil dan bijaksana; dan 4) Koordinasi, komunikasi, dan kerjasama dikalangan pihak-pihak yang terkait.
Pemrakarsa usaha dan/atau kegiatan wajib menyampaikan laporan pelaksanaan rencana pengelolaan lingkungan hidup dan rencana pemantauan lingkungan hidup kepada instansi yang membidangi usaha dan/atau kegiatan yang bersangkutan, instansi yang ditugasi mengendalikan dampak lingkungan dan Gubernur.
Dokumen AMDAL (kelayakan lingkungan hidup) yang merupakan bagian dari kelayakan teknis finansial-ekonomi (pasal 2 PP No. 27/1999) selanjutnya merupakan syarat yang harus dipenuhi untuk mendapatkan ijin melakukan usaha dan/atau kegiatan yang diterbitkan oleh pejabat yang berwenang (pasal 7 PP No. 27/1999). Dokumen AMDAL merupakan dokumen publik yang menjadi acuan dalam pelaksanaan pengelolaan lingkungan hidup yang bersifat lintas sektoral, lintas disiplin, dan dimungkinkan lintas teritorial administratif.
Namun, dari sisi proses, bila menilik Pasal 20 PP No. 27/1999, maka terbuka kemungkinan terjadinya kolusi dalam persetujuan AMDAL. Dalam ayat (1) pasal tersebut dinyatakan bahwa instansi yang bertanggung jawab menerbitkan keputusan kelayakan lingkungan hidup suatu usaha dan/atau kegiatan, dalam jangka waktu selambat-lambatnya 75 (tujuh puluh lima) hari kerja terhitung sejak tanggal diterimanya dokumen analisis dampak lingkungan hidup, rencana pengelolaan lingkungan hidup, dan rencana pemantauan lingkungan hidup. Dan dalam ayat (2) disebutkan apabila instansi yang bertanggung jawab tidak menerbitkan keputusan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud, maka rencana usaha dan/atau kegiatan yang bersangkutan dianggap layak lingkungan. Kolusi kemudian bisa terjadi disaat tidak adanya keputusan tentang persetujuan AMDAL dalam jangka waktu 75 hari, maka secara otomatis suatu kegiatan dan/atau usaha dianggap layak secara lingkungan.
Sejak dibubarkannya Badan Pengendalian Dampak Lingkungan, maka kemudian Kementerian Lingkungan Hidup semakin mengecil perannya dalam upaya pengendalian dampak lingkungan, termasuk dalam pengawasan AMDAL di berbagai tingkatan. Terlebih lagi, pasca dikeluarkannya PP No. 25 tahun 2000, menjadikan hilangnya mekanisme koordinasi antar wilayah, yang pada akhirnya menjadikan lingkungan hidup sebagai bagian yang menjadi tidak begitu penting.
Empat kelompok parameter yang terdapat di studi AMDAL , meliputi Fisik ? kimia (Iklim, kualitas udara dan kebisingan; Demografi; Fisiografi; Hidro-Oceanografi; Ruang; Lahan dan Tanah; dan Hidrologi), Biologi (Flora; Fauna), Sosial (Budaya; Ekonomi; Pertahanan/keamanan), dan Kesehatan masyarakat, ternyata juga masih sangat menekankan pada kepentingan formal saja. Lalu kemudian, permasalahan sosial-budaya dan posisi rakyat menjadi bagian yang dilupakan.
Satu hal dari proses di Komisi Penilai AMDAL, ketika ternyata terjadi pembohongan dalam dokumen AMDAL (dalam hal ini saat penilaian dokumen AMDAL Pembangunan Bandara Udara Sungai Siring ), hanya dianggap sebagai kesalahan ketik. Permakluman kemudian terjadi dikarenakan kuatnya kepentingan politis dibalik sebuah rencana kegiatan. Hal ini bukan hanya terjadi sekali. Dalam beberapa kali diskusi dengan para pihak yang dilibatkan dalam Komisi Penilai AMDAL, sangat jelas terlihat kerancuan dalam proses penilaian AMDAL. Tidak adanya kriteria dan indikator penilaian, telah menjadikan proses penilaian AMDAL menjadi sangat subyektif. Dan kemudian, penilaian yang sepotong-sepotong pun pada akhirnya menjadikan aspek dampak lingkungan hidup (sebagai sebuah komponen yang komprehensif) menjadi bagian yang sengaja untuk dilupakan.
Posisi kelayakan kegiatan dari AMDAL, sebenarnya sangat tergantung pada kelompok Akademisi atau para ahli yang dilibatkan dalam Komisi Penilai AMDAL. Ketika kemudian independensi (kebebasan ikatan) dari akademisi dalam menilai dokumen diikat saat kelompok ini pun menjadi konsultan penyusun AMDAL, telah menjadikan kelompok akademisi atau para ahli tidak lagi profesional dalam mengambil keputusan. Bias perkawanan dan keberlanjutan proyek (sustainable project) sangat menjadikan proses penilaian AMDAL menjadi hanya panggung boneka semata.
Hal yang kemudian menjadi sangat lemah adalah proses pengawasan pelaksanaan (implementasi) dari dokumen Rencana Pengelolaan Lingkungan (RKL) dan Rencana Pemantauan Lingkungan (RPL), dimana tidak ada perangkat hukum yang menyatakan sanksi terhadap pelanggar dokumen ini. Ketika kemudian terjadi pencemaran lingkungan ataupun terjadi konflik sosial, barulah digunakan perangkat hukum lainnya (semisal UU No. 23/1997, UU No. 41/1999 jo UU No. 19/2004 ataupun Kitab Undang-Undang Hukum Pidana/Perdata).
AMDAL yang pada awalnya ingin menaikkan posisi tawar lingkungan hidup dalam berkehidupan, kemudian malah berkontribusi terhadap hilangnya hak lingkungan hidup. Setiap kali sebuah kegiatan dan/atau usaha sangat terlihat jelas berdampak terhadap lingkungan hidup maupun komunitas rakyat, maka AMDAL berada di barisan terdepan untuk mengeliminir gejolak yang terjadi. Dengan melihat kondisi ini, maka bukan tidak mungkin AMDAL akan berkontribusi terhadap terjadinya ekosida/ecocide (tindakan pengrusakan seluruh atau sebagian dari sebuah ekosistem). Pemusnahan ekosistem semakin cepat terjadi dikarenakan tidak adanya perangkat penyaring (filter) dari kegiatan pengrusakan lingkungan hidup.
Dalam mendorong perbaikan kualitas lingkungan hidup (dan kualita manusia didalamnya), maka aparat pemerintah sudah selayaknya memahami ulang tentang Hak Menguasai Negara. Juga menjadi penting adanya undang-undang payung dalam rangka menjamin pemenuhan kewajiban negara terhadap hak konstitusional rakyat untuk: (1) melaksanakan reforma agraria (land reform); (2) pengelolaan agraria atau kekayaan alam dengan mengacu pada asas kehati-hatian (precautionary principle), serta; (3) perlindungan lingkungan hidup dan sumber-sumber kehidupan rakyat.
Di sisi penataan kelembagaan, menjadi penting dilakukannya reformasi kelembagaan, meliputi: (1) kelembagaan yang terkait kebijakan makro pengelolaan lingkungan hidup; (2) kelembagaan dengan fungsi perlindungan dan konservasi lingkungan, dan; (3) intergrasi kelembagaan yang memiliki fungsi menjamin akses terhadap permanfaatan lingkungan secara adil dan berkelanjutan. Selain menjadi penting menganut prinsi desentralisasi kewenangan berdasarkan fungsi, di mana diharapkan dapat mendekatkan proses pengambilan keputusan kepada kelompok penerima dampak. Bentuk yang ditawarkan adalah kepemerintahan rakyat (community governance), dimana kelembagaan bersifat ad-hoc, informal, mewakili kepentingan, pendekatan berdasarkan isu dan kepentinga, serta dikelola dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Kelembagaan formal pemerintah menjadi bagian dari kepemerintahan rakyat ini.
Untuk kondisi sistem pemerintahan yang ada saat ini, dalam hal ini terhadap AMDAL, penting untuk meletakkan ruh (filosofi) lingkungan hidup dalam setiap pelatihan mengenai AMDAL, sehingga tidak menjadikan penyusun, penilai dan pemantau AMDAL kehilangan ruh dari lingkungan hidup itu sendiri.
Menjadi penting juga bagi pemerintah di tingkat lokal hingga nasional untuk membangun clearing house lingkungan hidup, termasuk dokumen AMDAL didalamnya yang aksesable (mudah diakses) oleh rakyat. Juga untuk segera hadir mekanisme yang sederhana dan terbuka untuk mengelola respon publik terhadap proses AMDAL yang akan dan sedang berlangsung. Selain pula pemerintah mulai membangun perangkat sanksi terhadap pengelola kegiatan yang tidak melaksanakan RKL/RPL yang telah dibuatnya.
Dari sisi akademisi ataupun para ahli yang terlibat dalam penyusun maupun penilai AMDAL, sangat penting untuk kembali membuka ulang pemikiran agar tidak terjebak pada kepentingan kehidupan saat ini semata. Silaunya keping mata uang terkadang membutakan hati, namun bisa jadi suatu saat keping mata uang itu akan membutakan keturunan anda.
Sementara dari komunitas lokal, sudah saatnya berani bersuara tentang ketidakadilan dan penipuan yang berlangsung secara berkelanjutan hingga saat ini. Karena suatu saat, penerima dampak pertama dari kegiatan dan/atau usaha yang seolah-olah telah lulus AMDAL adalah komunitas lokal. Sangat penting juga membangun kapasitas melalui pemahaman tentang AMDAL KIJANG (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Kaki Telanjang), yang sebenarnya bisa menjadi sebuah perangkat pemantauan lingkungan hidup oleh rakyat dengan sederhana dan berdasarkan parameter yang tersedia di lingkungan itu sendiri.
Sumber :
http://timpakul.web.id/amdal.html
Sekilas Tentang AMDAL
Dalam dunia bisnis dewasa ini, persaingan usaha yang semakin ketat memaksa setiap perusahaan untuk selalu melakukan perbaikan mutu dan inovasi terhadap setiap hasil produksinya. Akibatnya perhatian perusahaan terhadap pengelolaan lingkungan hidup semakin berkurang, bahkan bila perlu menjadi perhatian nomor kesekian dari keseluruhan program perusahaan. Terlepas dari keadaan demikian, ada sebuah fakta yang tidak perlu dipungkiri lagi bahwa setiap perusahaan mempunyai peran strategis dalam mempertahankan daya dukung lingkungan bagi kelanjutan hidup manusia. Untuk itu telah jauh-jauh hari negara mengatur kewajiban perusahaan untuk memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup serta mencegah dan menanggulangi pencemaran dan perusakan lingkungan hidup, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 6 ayat (1) Undang-undang No.23 tahun 1997.
Setiap kegiatan industri harus berupaya untuk secara konsisten melaksanakan setiap kewajibannya dalam pengelolaan lingkungan hidup sebagaimana dipersyaratkan dalam setiap izin yang dimilikinya, maupun persyaratan lainnya yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Sebagai bentuk upaya pengelolaan lingkungan sebelum melakukan kegiatan usaha setiap industri wajib untuk mambuat AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup) atau UKL-UPL (Upaya Pengelolaan Lingkungan dan Upaya Pemantauan Lingkungan) berdasarkan Pasal 3 ayat (1) Peraturan Pemerintah No.27 tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup dan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No.17 thn 2001 ttg Jenis Rencana Usaha Dan Atau Kegiatan yg Wajib Dilengkapi AMDAL, jo. PP No.27 tahun 1999 dan Kepmen LH No.12/MENLH/3/1994 ttg Pedoman Umum Upaya Pengelolaan Lingkungan dan Upaya Pemantauan Lingkungan.
Dokumen AMDAL terdiri dari :
- Dokumen Kerangka Acuan Analisis Dampak Lingkungan Hidup (KA-ANDAL)
- Dokumen Analisis Dampak Lingkungan Hidup (ANDAL)
- Dokumen Rencana Pengelolaan Lingkungan Hidup (RKL)
- Dokumen Rencana Pemantauan Lingkungan Hidup (RPL)
Hal-hal yang dikaji dalam proses AMDAL: aspek fisik-kimia, ekologi, sosial-ekonomi, sosial-budaya, dan kesehatan masyarakat sebagai pelengkap studi kelayakan suatu rencana usaha dan/atau kegiatan.
AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup) atau UKL-UPL (Upaya Pengelolaan Lingkungan dan Upaya Pemantauan Lingkungan) harus dimintakan persetujuan kepada instansi yang berwenang dalam pengelolaan lingkungan hidup dalam hai ini dalah komisi penilai AMDAL yang ada di tingkat Kabupaten/Kota, tingkat Provinsi, Tingkat Pusat tergantung dari paparan dampak yang akan diakibatkan oleh kegiatan usaha tersebut. Tiga dokumen (ANDAL, RKL dan RPL) diajukan bersama-sama untuk dinilai oleh Komisi Penilai AMDAL. Hasil penilaian inilah yang menentukan apakah rencana usaha dan/atau kegiatan tersebut layak secara lingkungan atau tidak dan apakah perlu direkomendasikan untuk diberi ijin atau tidak.
Prosedur AMDAL terdiri dari :
- Proses penapisan (screening) wajib AMDAL
- Proses pengumuman dan konsultasi masyarakat
- Penyusunan dan penilaian KA-ANDAL (scoping)
- Penyusunan dan penilaian ANDAL, RKL, dan RPL Proses penapisan atau kerap juga disebut proses seleksi kegiatan wajib AMDAL, yaitu menentukan apakah suatu rencana kegiatan wajib menyusun AMDAL atau tidak.
Proses pengumuman dan konsultasi masyarakat. Berdasarkan Keputusan Kepala BAPEDAL Nomor 08/2000, pemrakarsa wajib mengumumkan rencana kegiatannya selama waktu yang ditentukan dalam peraturan tersebut, menanggapi masukan yang diberikan, dan kemudian melakukan konsultasi kepada masyarakat terlebih dulu sebelum menyusun KA-ANDAL.
Proses penyusunan KA-ANDAL. Penyusunan KA-ANDAL adalah proses untuk menentukan lingkup permasalahan yang akan dikaji dalam studi ANDAL (proses pelingkupan).
Proses penilaian KA-ANDAL. Setelah selesai disusun, pemrakarsa mengajukan dokumen KA-ANDAL kepada Komisi Penilai AMDAL untuk dinilai. Berdasarkan peraturan, lama waktu maksimal untuk penilaian KA-ANDAL adalah 75 hari di luar waktu yang dibutuhkan oleh penyusun untuk memperbaiki/menyempurnakan kembali dokumennya.
Proses penyusunan ANDAL, RKL, dan RPL. Penyusunan ANDAL, RKL, dan RPL dilakukan dengan mengacu pada KA-ANDAL yang telah disepakati (hasil penilaian Komisi AMDAL).
Proses penilaian ANDAL, RKL, dan RPL. Setelah selesai disusun, pemrakarsa mengajukan dokumen ANDAL, RKL dan RPL kepada Komisi Penilai AMDAL untuk dinilai. Berdasarkan peraturan, lama waktu maksimal untuk penilaian ANDAL, RKL dan RPL adalah 75 hari di luar waktu yang dibutuhkan oleh penyusun untuk memperbaiki/menyempurnakan kembali dokumennya.
Pihak-pihak yang terlibat dalam proses AMDAL:
1. Komisi Penilai AMDAL adalah komisi yang bertugas menilai dokumen AMDAL. Di tingkat pusat berkedudukan di Kementerian Lingkungan Hidup, di tingkat Propinsi berkedudukan di Bapedalda/lnstansi pengelola lingkungan hidup Propinsi, dan di tingkat Kabupaten/Kota berkedudukan di Bapedalda/lnstansi pengelola lingkungan hidup Kabupaten/Kota. Unsur pemerintah lainnya yang berkepentingan dan warga masyarakat yang terkena dampak diusahakan terwakili di dalam Komisi Penilai ini. Tata kerja dan komposisi keanggotaan Komisi Penilai AMDAL ini diatur dalam Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup, sementara anggota-anggota Komisi Penilai AMDAL di propinsi dan kabupaten/kota ditetapkan oleh Gubernur dan Bupati/Walikota.
2. Pemrakarsa adalah orang atau badan hukum yang bertanggungjawab atas suatu rencana usaha dan/atau kegiatan yang akan dilaksanakan.
3. Masyarakat yang berkepentingan adalah masyarakat yang terpengaruh atas segala bentuk keputusan dalam proses AMDAL berdasarkan alasan-alasan antara lain sebagai berikut: kedekatan jarak tinggal dengan rencana usaha dan/atau kegiatan, faktor pengaruh ekonomi, faktor pengaruh sosial budaya, perhatian pada lingkungan hidup, dan/atau faktor pengaruh nilai-nilai atau norma yang dipercaya. Masyarakat berkepentingan dalam proses AMDAL dapat dibedakan menjadi masyarakat terkena dampak, dan masyarakat pemerhati.
Pada prinsipnya semua kegiatan yang berdampak pada lingkungan wajib memiliki dokumen pengelolaan lingkungan semabaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah No.27 tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup dan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No.17 thn 2001 ttg Jenis Rencana Usaha Dan Atau Kegiatan yg Wajib Dilengkapi AMDAL, jo. PP No.27 tahun 1999 .
Bila kegiatan tersebut tidak wajib AMDAL maka harus membuat dokumen pengelolaan lingkungan yaitu UKL-UPL(Upaya Pengelolaan Lingkungan dan Upaya Pemantauan Lingkungan) berdasarkan pada Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No.17 thn 2001 ttg Jenis Rencana Usaha Dan Atau Kegiatan yg Wajib Dilengkapi AMDAL, jo. PP No.27 tahun 1999 dan Kepmen LH No.12/MENLH/3/1994 ttg Pedoman Umum Upaya Pengelolaan Lingkungan dan Upaya Pemantauan Lingkungan.
Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup (UKL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup (UPL) adalah upaya yang dilakukan dalam pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup oleh penanggung jawab dan atau kegiatan yang tidak wajib melakukan AMDAL (Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 86 tahun 2002 tentang Pedoman Pelaksanaan Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup).
Kegiatan yang tidak wajib menyusun AMDAL tetap harus melaksanakan upaya pengelolaan lingkungan dan upaya pemantauan lingkungan. Kewajiban UKL-UPL diberlakukan bagi kegiatan yang tidak diwajibkan menyusun AMDAL dan dampak kegiatan mudah dikelola dengan teknologi yang tersedia.
UKL-UPL merupakan perangkat pengelolaan lingkungan hidup untuk pengambilan keputusan dan dasar untuk menerbitkan ijin melakukan usaha dan atau kegiatan.
Proses dan prosedur UKL-UPL tidak dilakukan seperti AMDAL tetapi dengan menggunakan formulir isian yang berisi :
- Identitas pemrakarsa
- Rencana Usaha dan/atau kegiatan
- Dampak Lingkungan yang akan terjadi
- Program pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup
- Tanda tangan dan cap
Formulir Isian diajukan pemrakarsa kegiatan kepada :
- Instansi yang bertanggungjawab di bidang pengelolaan lingkungan hidup Kabupaten/Kota untuk kegiatan yang berlokasi pada satu wilayah kabupaten/kota
- Instansi yang bertanggungjawab di bidang pengelolaan lingkungan hidup Propinsi untuk kegiatan yang berlokasi lebih dari satu Kabupaten/Kota
- Instansi yang bertanggungjawab di bidang pengelolaan lingkungan hidup dan pengendalian dampak lingkungan untuk kegiatan yang berlokasi lebih dari satu propinsi atau lintas batas negara
Minggu, 17 Juni 2012
Kaitan AMDAL dan UKL/ UPL
Rencana kegiatan yang sudah ditetapkan wajib menyusun AMDAL tidak lagi diwajibkan menyusun UKL-UPL (lihat penapisan Keputusan Menteri LH 17/2001). UKL-UPL dikenakan bagi kegiatan yang telah diketahui teknologi dalam pengelolaan limbahnya.
AMDAL dan Audit Lingkungan Hidup Wajib
Bagi kegiatan yang telah berjalan dan belum memiliki dokumen pengelolaan lingkungan hidup (RKL-RPL) sehingga dalam operasionalnya menyalahi peraturan perundangan di bidang lingkungan hidup, maka kegiatan tersebut tidak bisa dikenakan kewajiban AMDAL, untuk kasus seperti ini kegiatan tersebut dikenakan Audit Lingkungan Hidup Wajib sesuai Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 30 tahun 2001 tentang Pedoman Pelaksanaan Audit Lingkungan yang Diwajibkan.
Audit Lingkungan Wajib merupakan dokumen lingkungan yang sifatnya spesifik, dimana kewajiban yang satu secara otomatis menghapuskan kewajiban lainnya kecuali terdapat kondisi-kondisi khusus yang aturan dan kebijakannya ditetapkan oleh Menteri Negara Lingkungan Hidup.
Kegiatan dan/atau usaha yang sudah berjalan yang kemudian diwajibkan menyusun Audit Lingkungan tidak membutuhkan AMDAL baru.
AMDAL dan Audit Lingkungan Hidup Sukarela
Kegiatan yang telah memiliki AMDAL dan dalam operasionalnya menghendaki untuk meningkatkan ketaatan dalam pengelolaan lingkungan hidup dapat melakukan audit lingkungan secara sukarela yang merupakan alat pengelolaan dan pemantauan yang bersifat internal. Pelaksanaan Audit Lingkungan tersebut dapat mengacu pada Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 42 tahun 1994 tentang Panduan umum pelaksanaan Audit Lingkungan.
Penerapan perangkat pengelolaan lingkungan sukarela bagi kegiatan-kegiatan yang wajib AMDAL tidak secara otomatis membebaskan pemrakarsa dari kewajiban penyusunan dokumen AMDAL. Walau demikian dokumen-dokumen sukarela ini sangat didorong untuk disusun oleh pemrakarsa karena sifatnya akan sangat membantu efektifitas pelaksanaan pengelolaan lingkungan sekaligus dapat “memperbaiki” ketidaksempurnaan yang ada dalam dokumen AMDAL.
Dokumen lingkungan yang bersifat sukarela ini sangat bermacam-macam dan sangat berguna bagi pemrakarsa, termasuk dalam melancarkan hubungan perdagangan dengan luar negeri. Dokumen-dokumen tersebut antara lain adalah Audit Lingkungan Sukarela, dokumen-dokumen yang diatur dalam ISO 14000, dokumen-dokumen yang dipromosikan penyusunannya oleh asosiasi-asosiasi industri/bisnis, dan lainnya.
|
Apa itu UKL/ UPL?
Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup (UKL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup (UPL) adalah upaya yang dilakukan dalam pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup oleh penanggung jawab dan atau kegiatan yang tidak wajib melakukan AMDAL (Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 86 tahun 2002 tentang Pedoman Pelaksanaan Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup).
Kegiatan yang tidak wajib menyusun AMDAL tetap harus melaksanakan upaya pengelolaan lingkungan dan upaya pemantauan lingkungan.
Kewajiban UKL-UPL diberlakukan bagi kegiatan yang tidak diwajibkan menyusun AMDAL dan dampak kegiatan mudah dikelola dengan teknologi yang tersedia.
UKL-UPL merupakan perangkat pengelolaan lingkungan hidup untuk pengambilan keputusan dan dasar untuk menerbitkan ijin melakukan usaha dan atau kegiatan.
Proses dan prosedur UKL-UPL tidak dilakukan seperti AMDAL tetapi dengan menggunakan formulir isian yang berisi :
- Identitas pemrakarsa
- Rencana Usaha dan/atau kegiatan
- Dampak Lingkungan yang akan terjadi
- Program pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup
- Tanda tangan dan cap
Formulir Isian diajukan pemrakarsa kegiatan kepada :
- Instansi yang bertanggungjawab di bidang pengelolaan lingkungan hidup Kabupaten/Kota untuk kegiatan yang berlokasi pada satu wilayah kabupaten/kota
- Instansi yang bertanggungjawab di bidang pengelolaan lingkungan hidup Propinsi untuk kegiatan yang berlokasi lebih dari satu Kabupaten/Kota
- Instansi yang bertanggungjawab di bidang pengelolaan lingkungan hidup dan pengendalian dampak lingkungan untuk kegiatan yang berlokasi lebih dari satu propinsi atau lintas batas negara
PP No 27 Tahun 2012 Tentang izin lingkungan
Pada 23 Februari 2012, ditetapkan dan diundangkan Peraturan Pemerintah nomor 27 Tahun 2012 tentang Izin Lingkungan (PP 27/2012). PP ini diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 48 dan Tambahan Lembaran Negara Tahun 2012 Nomor 5285. PP 27/2012 disusun sebagai pelaksanaan ketentuan dalam Undang-Undang 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU 32/2009), khususnya ketentuan dalam Pasal 33 dan Pasal 41. PP 27/2012 mengatur dua instrumen perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, yaitu instrumen kajian lingkungan hidup (dalam bentuk amdal dan UKL-UPL) serta instrumen Izin Lingkungan. Penggabungan substansi tentang amdal dan izin lingkungan dalam PP ini dilakukan dengan pertimbangan bahwa AMDAL/UKL-UPL dan izin lingkungan merupakan satu kesatuan. Menteri Negara Lingkungan Hidup, Prof. Dr. Balthasar Kambuaya, MBA menegaskan, “PP ini pertanda bahwa implementasi UU 32/2009 akan semakin terlaksana dengan lebih baik. Walaupun baru satu PP turunan UU 32/2009 yang dapat diterbitkan, namun PP ini sangat berkekuatan (Powerful) untuk menjaga lingkungan hidup kita. PP ini meletakkan kelayakan lingkungan sebagai dasar izin lingkungan sehingga enforceable dengan sanksi yang jelas dan tegas”.
Dalam PP 27/2012 mengatur hubungan (interface) antara izin lingkungan dengan proses pengawasan dan penegakan hukum. Pasal 71 dalam PP 27 Tahun 2012 memberikan ruang yang jelas mengenai pengenaan sanksi atas pemegang izin lingkungan yang melanggar kewajibannya sebagaimana yang diatur dalam Pasal 53. Secara umum, dapat disimpulkan bahwa sasaran dari terbitnya PP 27 Tahun 2012 ini adalah terlindungi dan terkelolanya lingkungan hidup sedangkan sasaran mikro dari terbitnya peraturan ini adalah memberi dasar hukum yang jelas atas penerapan instrument izin lingkungan dan memberikan beberapa perbaikan atas penerapan instrument amdal dan UKL-UPL (kajian lingkungan hidup) di Indonesia.
Kewajiban pemegang izin lingkungan juga adalah menaati persyaratan dan kewajiban yang akan tercantum dalam izin perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup (Izin PPLH). Izin PPLH diterbitkan pada tahap operasional sedangkan Izin Lingkungan adalah pada tahap perencanaan. IZIN PPLH antara lain adalah: izin pembuangan limbah cair, izin pemanfaatan air limbah untuk aplikasi ke tanah, izin dalam pengelolaan limbah bahan berbahaya dan beracun (limbah B3) dan izin pembuangan air limbah ke laut (Penjelasan Pasal 48 ayat (2) PP 27/2012).
PP 27/2012 merupakan pengganti PP 27 Tahun 1999 Tentang Amdal dengan penambahan berbagai pengaturan dan ketentuan perihal izin lingkungan. Ada dua prinsip dalam upaya penyusunan PP Izin Lingkungan ini, yaitu lebih sederhana yang tidak menciptakan proses birokrasi baru dan implementatif. Balthasar Kambuaya menambahkan, “PP 27/2012 ini juga mengamanatkan proses penilaian amdal yang lebih cepat, yaitu 125 hari dari 180 hari. Dengan begitu akan terjadi efisiensi sumber daya, baik waktu, biaya dan tenaga, yang tentunya tanpa mengurangi kualitasnya.” Langkah maju ini adalah pengaturan bahwa total jangka waktu penilaian amdal sejak diterimanya dokumen amdal dalam status telah lengkap secara administrasi adalah sekitar 125 hari kerja, tidak termasuk lama waktu perbaikan dokumen. Jangka waktu 125 hari kerja tersebut adalah langkah maju karena di PP 27 Tahun 1999, total jangka waktu penilaian amdal adalah sekitar 180 hari kerja.
Salah satu hal yang juga penting dalam PP ini adalah semakin besarnya ruang bagi keterlibatan masyarakat khususnya masyarakat terkena dampak dalam hal penentuan keputusan mengenai layak tidaknya rencana usaha dan/atau kegiatan tersebut. Permohonan izin lingkungan dan penerbitan izin lingkungan harus diumumkan 3 kali dalam tahap perencanaan (sebelumnya dalam PP 27/1999hanya mewajibkan satu kali pengumuman saja yaitu pada tahap sebelum menyusun kerangka acuan (KA) Andal). Dengan begitu, masyarakat akan mampu berpartisipasi aktif dan memberikan saran atas setiap rencana usaha dan/atau kegiatan di daerahnya.
Hal positif lainnya dalam PP 27 Tahun 2012 ini adalah dengan diberikannya pengaturan yang tegas, bahwa PNS di instansi lingkungan hidup, dilarang menyusun amdal maupun UKL-UPL. Ketentuan ini dirancang sebagai upaya untuk menjaga akuntabilitas amdal maupun UKL-UPL sebagai kajian ilmiah yang harus bersih dari segala bentuk intervensi kepentingan kelompok atau golongan.
Pada akhir pernyataannya, Menteri Negara Lingkungan Hidup mengatakan,”PP ini akan mengubah secara dramatis tatanan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Akan terjadi perubahan mindset dari seluruh pemangku kepentingan.” Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2012 Tentang Izin Lingkungan, Lebih Cepat, Lebih Tegas dan Aspiratif melibatkan banyak pihak.
PERMEN PELAKSANAAN PP IZIN LINGKUNGAN
No. Pasal Bunyi Pasal
1. Pasal 6 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyusunan dokumen Amdal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 diatur dengan Peraturan Menteri.
2. Pasal 9 (6) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengikutsertaan masyarakat dalam penyusunan Amdal diatur dengan Peraturan Menteri.
3. Pasal 10 (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan persyaratan untuk mendirikan lembaga penyedia jasa penyusunan dokumen Amdal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b diatur dengan Peraturan Menteri.
4. Pasal 13 (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengecualian untuk Usaha dan/atau Kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b diatur dengan Peraturan Menteri.
5. Pasal 16 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyusunan UKL-UPL diatur dengan Peraturan Menteri.
6. Pasal 26 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penilaian Kerangka Acuan diatur dengan Peraturan Menteri.
7. Pasal 35 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penilaian Andal dan RKL-RPL diatur dengan Peraturan Menteri.
8. Pasal 50 (8) Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria perubahan Usaha dan/atau Kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan tata cara perubahan Keputusan Kelayakan Lingkungan Hidup, perubahan Rekomendasi UKL-UPL, dan penerbitan perubahan Izin Lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) diatur dengan Peraturan Menteri.
9. Pasal 52 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penerbitan Izin Lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 sampai dengan Pasal 51 diatur dengan Peraturan Menteri.
10. Pasal 58 (2) Ketentuan mengenai persyaratan dan tata cara lisensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.
11. Pasal 67 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembinaan dan evaluasi kinerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 sampai dengan Pasal 66 diatur dengan Peraturan Menteri.
TRISIA GROUP melalui group perusahaan PT. LOGOS Konsultan menyelenggarakan Jasa Kajian Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL), UKL/UPL, Monitoring Lingkungan dalam rangka implementasi RKL dan RPL, bidang-bidang Amdal/UKL/UPL yang ditangani meliputi bidang rencana usaha:
- Perumahan
- Perhotelan
- Rumah Sakit
- Instalasi Air Minum (PDAM, IPA Perumahan dll)
- INTAKE IPA
- Pertambangan
- Oil and Gas
- Mall, Kawasan Bisnis dll
Tenaga ahli kami adalah tenaga ahli yang sudah tersertifikasi oleh INTAKINDO sebagai lembaga Sertifikasi AMDAL di Indonesia
Keterangan lebih lanjut, hubungi Joko Widodo, S.Si, M.Si. HP. 08159491044, atau 081281025977, Email: joko@trisia.net atau jecko.emji@gmail.com
Langganan:
Postingan (Atom)