Analisis mengenai dampak lingkungan hidup adalah kajian mengenai dampak besar dan penting suatu usaha dan/atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan.
Dalam sebuah lokakarya regional koordinasi tata lingkungan wilayah Kalimantan, Ir Hermien Roosita MM, Asisten Deputi Urusan Pengkajian Dampak Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup menyatakan bahwa hanya 119 kabupaten/kota yang memiliki komisi penilai AMDAL dari 474 kabupaten/kota di Indonesia. Dari angka tersebut, hanya 50% yang berfungsi menilai AMDAL. Sementara 75% dokumen AMDAL yang dihasilkan berkualitas buruk sampai sangat buruk.
Lebih lanjut disampaikannya bahwa selama ini AMDAL memerlukan waktu proses yang lama, itdak ada penegakan hukum terhadap pelanggar AMDAL, kontribusi pengelolaan lingkungan yang masih rendah, menjadi beban biaya, dan dipandang sebagai komodias ekonomi oleh (oknum) aparatur pemerintah, pemrakarsa atau konsultan. Lebih rusaknya, ketika AMDAL justru hanya sebagai alat retribusi, bukan sebagai bagian dari sebuah studi kelayakan, sehingga sering kali ditemui banyak AMDAL yang justru melanggar tata ruang.
Ruh AMDAL ketika pertama kali dikeluarkan kebijakan mengenainya, adalah merupakan bagian kegiatan studi kelayakan rencana usaha dan/atau kegiatan. Hasil analisis mengenai dampak lingkungan hidup digunakan sebagai bahan perencanaan pembangunan wilayah. Namun dikarenakan minimnya pengetahuan dari pemerintah dan rakyat dalam memahami AMDAL, menjadikan pemrakarsa dan konsultan menggunakan AMDAL sebagai sebuah dokumen asal jadi, dan kecenderungan mengutip dokumen AMDAL lainnya sangat tinggi. Sehingga AMDAL tidak dapat menjadi sebuah acuan kelayakan sebuah kegiatan berjalan.
Dalam sebuah rencana proyek jalan LADIA-GALASKA di Nanggroe Aceh Darussalam, sangat terlihat jelas bahwa proyek jalan dilaksanakan jauh sebelum dokumen AMDAL disetujui oleh Komisi Penilai AMDAL. Hal serupa ditemui dalam proyek jalan yang melalui Pulau Balang di Teluk Balikpapan, dimana saat ini proyek telah dilaksanakan, sementara AMDAL belum selesai direvisi.
Pasal 15 (1) UU No. 23/1997 menyatakan bahwa setiap rencana usaha dan/atau kegiatan yang kemungkinan dapat menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup, wajib memiliki analisis mengenai dampak lingkungan hidup. Hal ini kemudian ditegaskan dalam pasal 3 PP No. 27/1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) yang menyebutkan bahwa usaha dan/atau kegiatan yang kemungkinan dapat menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup meliputi:
1. Pengubahan bentuk lahan dan bentang alam.
2. Eksploitasi sumberdaya alam baik yang terbaharui maupun yang tidak terbaharui.
3. Proses dan kajian yang secara potensial dapat menimbulkan pemborosan, pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup, serta kemerosotan sumberdaya alam dalam pemanfaatannya.
4. Proses dan kegiatan yang hasilnya dapat mempengaruhi lingkungan alam, lingkungan buatan, serta lingkungan sumberdaya.
5. Proses dan kegiatan yang hasilnya akan mempengaruhi pelestarian kawasan konservasi sumberdaya alam dan/atau perlindungan cagar budaya.
6. Introduksi jenis tumbuh-tumbuhan, jenis hewan dan jasad renik.
7. Pembuatan dan penggunaan bahan hayati dan non-hayati.
8. Penerapan teknologi yang diperkirakan mempunyai potensi besar untuk mempengaruhi lingkungan hidup.
9. Kegiatan yang mempunyai resiko tinggi dan dapat mempengaruhi pertahanan negara.
Dalam proses penyusunan dokumen AMDAL, sangat sering ditemui konsultan (tim penyusun) AMDAL meninggalkan berbagai prinsip dalam AMDAL. Terutama posisi rakyat dalam proses penyusunan dokumen AMDAL. Proses keterbukaan informasi dijamin oleh kebijakan, di mana pasal 33 PP No. 27/1999 menegaskan kewajiban pemrakarsa untuk mengumunkan kepada publik dan saran, pendapat, masukan publik wajib untuk dikaji dan dipertimbangkan dalam AMDAL. Dan pasal 34 menegaskan bagi kelompok rakyat yang berkepentingan wajib dilibatkan dalam proses penyusunan kerangka acuan, penilaian kerangka acuan, analisis dampak lingkungan hidup, rencana pengelolaan lingkungan hidup dan rencana pemantauan lingkungan hidup.
Maksud dan tujuan dilaksanakannya ketertibatan masyarakat dalam keterbukaan informasi dalam proses Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (AMDAL) ini adalah untuk :
1) Melindungi kepentingan masyarakat;
2) Memberdayakan masyarakat dalam pengambilan keputusan atas rencana usaha dan/atau kegiatan pembangunan yang berpotensi menimbulkan dampak besar dan penting terhadap Lingkungan;
3) Memastikan adanya transparansi dalam keseluruhan proses AMDAl dari rencana usaha dan/atau kegiatan; dan
4) Menciptakan suasana kemitraan yang setara antara semua pihak yang berkepentingan, yaitu dengan menghormati hak-hak semua pihak untuk mendapatkan informasi dan mewajibkan semua pihak untuk menyampaikan informasi yang harus diketahui pihak lain yang terpengaruh.
Di mana prinsip dasar pelaksanaannya menganuti: 1) Kesetaraan posisi di antara pihak-pihak yang terlibat; 2) Transparansi dalam pengambilan keputusan; 3) Penyelesaian masalah yang bersifat adil dan bijaksana; dan 4) Koordinasi, komunikasi, dan kerjasama dikalangan pihak-pihak yang terkait.
Pemrakarsa usaha dan/atau kegiatan wajib menyampaikan laporan pelaksanaan rencana pengelolaan lingkungan hidup dan rencana pemantauan lingkungan hidup kepada instansi yang membidangi usaha dan/atau kegiatan yang bersangkutan, instansi yang ditugasi mengendalikan dampak lingkungan dan Gubernur.
Dokumen AMDAL (kelayakan lingkungan hidup) yang merupakan bagian dari kelayakan teknis finansial-ekonomi (pasal 2 PP No. 27/1999) selanjutnya merupakan syarat yang harus dipenuhi untuk mendapatkan ijin melakukan usaha dan/atau kegiatan yang diterbitkan oleh pejabat yang berwenang (pasal 7 PP No. 27/1999). Dokumen AMDAL merupakan dokumen publik yang menjadi acuan dalam pelaksanaan pengelolaan lingkungan hidup yang bersifat lintas sektoral, lintas disiplin, dan dimungkinkan lintas teritorial administratif.
Namun, dari sisi proses, bila menilik Pasal 20 PP No. 27/1999, maka terbuka kemungkinan terjadinya kolusi dalam persetujuan AMDAL. Dalam ayat (1) pasal tersebut dinyatakan bahwa instansi yang bertanggung jawab menerbitkan keputusan kelayakan lingkungan hidup suatu usaha dan/atau kegiatan, dalam jangka waktu selambat-lambatnya 75 (tujuh puluh lima) hari kerja terhitung sejak tanggal diterimanya dokumen analisis dampak lingkungan hidup, rencana pengelolaan lingkungan hidup, dan rencana pemantauan lingkungan hidup. Dan dalam ayat (2) disebutkan apabila instansi yang bertanggung jawab tidak menerbitkan keputusan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud, maka rencana usaha dan/atau kegiatan yang bersangkutan dianggap layak lingkungan. Kolusi kemudian bisa terjadi disaat tidak adanya keputusan tentang persetujuan AMDAL dalam jangka waktu 75 hari, maka secara otomatis suatu kegiatan dan/atau usaha dianggap layak secara lingkungan.
Sejak dibubarkannya Badan Pengendalian Dampak Lingkungan, maka kemudian Kementerian Lingkungan Hidup semakin mengecil perannya dalam upaya pengendalian dampak lingkungan, termasuk dalam pengawasan AMDAL di berbagai tingkatan. Terlebih lagi, pasca dikeluarkannya PP No. 25 tahun 2000, menjadikan hilangnya mekanisme koordinasi antar wilayah, yang pada akhirnya menjadikan lingkungan hidup sebagai bagian yang menjadi tidak begitu penting.
Empat kelompok parameter yang terdapat di studi AMDAL , meliputi Fisik ? kimia (Iklim, kualitas udara dan kebisingan; Demografi; Fisiografi; Hidro-Oceanografi; Ruang; Lahan dan Tanah; dan Hidrologi), Biologi (Flora; Fauna), Sosial (Budaya; Ekonomi; Pertahanan/keamanan), dan Kesehatan masyarakat, ternyata juga masih sangat menekankan pada kepentingan formal saja. Lalu kemudian, permasalahan sosial-budaya dan posisi rakyat menjadi bagian yang dilupakan.
Satu hal dari proses di Komisi Penilai AMDAL, ketika ternyata terjadi pembohongan dalam dokumen AMDAL (dalam hal ini saat penilaian dokumen AMDAL Pembangunan Bandara Udara Sungai Siring ), hanya dianggap sebagai kesalahan ketik. Permakluman kemudian terjadi dikarenakan kuatnya kepentingan politis dibalik sebuah rencana kegiatan. Hal ini bukan hanya terjadi sekali. Dalam beberapa kali diskusi dengan para pihak yang dilibatkan dalam Komisi Penilai AMDAL, sangat jelas terlihat kerancuan dalam proses penilaian AMDAL. Tidak adanya kriteria dan indikator penilaian, telah menjadikan proses penilaian AMDAL menjadi sangat subyektif. Dan kemudian, penilaian yang sepotong-sepotong pun pada akhirnya menjadikan aspek dampak lingkungan hidup (sebagai sebuah komponen yang komprehensif) menjadi bagian yang sengaja untuk dilupakan.
Posisi kelayakan kegiatan dari AMDAL, sebenarnya sangat tergantung pada kelompok Akademisi atau para ahli yang dilibatkan dalam Komisi Penilai AMDAL. Ketika kemudian independensi (kebebasan ikatan) dari akademisi dalam menilai dokumen diikat saat kelompok ini pun menjadi konsultan penyusun AMDAL, telah menjadikan kelompok akademisi atau para ahli tidak lagi profesional dalam mengambil keputusan. Bias perkawanan dan keberlanjutan proyek (sustainable project) sangat menjadikan proses penilaian AMDAL menjadi hanya panggung boneka semata.
Hal yang kemudian menjadi sangat lemah adalah proses pengawasan pelaksanaan (implementasi) dari dokumen Rencana Pengelolaan Lingkungan (RKL) dan Rencana Pemantauan Lingkungan (RPL), dimana tidak ada perangkat hukum yang menyatakan sanksi terhadap pelanggar dokumen ini. Ketika kemudian terjadi pencemaran lingkungan ataupun terjadi konflik sosial, barulah digunakan perangkat hukum lainnya (semisal UU No. 23/1997, UU No. 41/1999 jo UU No. 19/2004 ataupun Kitab Undang-Undang Hukum Pidana/Perdata).
AMDAL yang pada awalnya ingin menaikkan posisi tawar lingkungan hidup dalam berkehidupan, kemudian malah berkontribusi terhadap hilangnya hak lingkungan hidup. Setiap kali sebuah kegiatan dan/atau usaha sangat terlihat jelas berdampak terhadap lingkungan hidup maupun komunitas rakyat, maka AMDAL berada di barisan terdepan untuk mengeliminir gejolak yang terjadi. Dengan melihat kondisi ini, maka bukan tidak mungkin AMDAL akan berkontribusi terhadap terjadinya ekosida/ecocide (tindakan pengrusakan seluruh atau sebagian dari sebuah ekosistem). Pemusnahan ekosistem semakin cepat terjadi dikarenakan tidak adanya perangkat penyaring (filter) dari kegiatan pengrusakan lingkungan hidup.
Dalam mendorong perbaikan kualitas lingkungan hidup (dan kualita manusia didalamnya), maka aparat pemerintah sudah selayaknya memahami ulang tentang Hak Menguasai Negara. Juga menjadi penting adanya undang-undang payung dalam rangka menjamin pemenuhan kewajiban negara terhadap hak konstitusional rakyat untuk: (1) melaksanakan reforma agraria (land reform); (2) pengelolaan agraria atau kekayaan alam dengan mengacu pada asas kehati-hatian (precautionary principle), serta; (3) perlindungan lingkungan hidup dan sumber-sumber kehidupan rakyat.
Di sisi penataan kelembagaan, menjadi penting dilakukannya reformasi kelembagaan, meliputi: (1) kelembagaan yang terkait kebijakan makro pengelolaan lingkungan hidup; (2) kelembagaan dengan fungsi perlindungan dan konservasi lingkungan, dan; (3) intergrasi kelembagaan yang memiliki fungsi menjamin akses terhadap permanfaatan lingkungan secara adil dan berkelanjutan. Selain menjadi penting menganut prinsi desentralisasi kewenangan berdasarkan fungsi, di mana diharapkan dapat mendekatkan proses pengambilan keputusan kepada kelompok penerima dampak. Bentuk yang ditawarkan adalah kepemerintahan rakyat (community governance), dimana kelembagaan bersifat ad-hoc, informal, mewakili kepentingan, pendekatan berdasarkan isu dan kepentinga, serta dikelola dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Kelembagaan formal pemerintah menjadi bagian dari kepemerintahan rakyat ini.
Untuk kondisi sistem pemerintahan yang ada saat ini, dalam hal ini terhadap AMDAL, penting untuk meletakkan ruh (filosofi) lingkungan hidup dalam setiap pelatihan mengenai AMDAL, sehingga tidak menjadikan penyusun, penilai dan pemantau AMDAL kehilangan ruh dari lingkungan hidup itu sendiri.
Menjadi penting juga bagi pemerintah di tingkat lokal hingga nasional untuk membangun clearing house lingkungan hidup, termasuk dokumen AMDAL didalamnya yang aksesable (mudah diakses) oleh rakyat. Juga untuk segera hadir mekanisme yang sederhana dan terbuka untuk mengelola respon publik terhadap proses AMDAL yang akan dan sedang berlangsung. Selain pula pemerintah mulai membangun perangkat sanksi terhadap pengelola kegiatan yang tidak melaksanakan RKL/RPL yang telah dibuatnya.
Dari sisi akademisi ataupun para ahli yang terlibat dalam penyusun maupun penilai AMDAL, sangat penting untuk kembali membuka ulang pemikiran agar tidak terjebak pada kepentingan kehidupan saat ini semata. Silaunya keping mata uang terkadang membutakan hati, namun bisa jadi suatu saat keping mata uang itu akan membutakan keturunan anda.
Sementara dari komunitas lokal, sudah saatnya berani bersuara tentang ketidakadilan dan penipuan yang berlangsung secara berkelanjutan hingga saat ini. Karena suatu saat, penerima dampak pertama dari kegiatan dan/atau usaha yang seolah-olah telah lulus AMDAL adalah komunitas lokal. Sangat penting juga membangun kapasitas melalui pemahaman tentang AMDAL KIJANG (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Kaki Telanjang), yang sebenarnya bisa menjadi sebuah perangkat pemantauan lingkungan hidup oleh rakyat dengan sederhana dan berdasarkan parameter yang tersedia di lingkungan itu sendiri.
Sumber :
http://timpakul.web.id/amdal.html